Akhir-akhir ini ada banyak sekali hal-hal yang sekelebat lewat, namun sedikit menjadi beban pikiran. Meski tidak semuanya adalah hal-hal yang aku alami sendiri, tetapi hal-hal yang begini satu-dua kali sempat agaknya sedikit menyita waktuku karena terus-terusan bikin kepikiran. Tapi, dengan harap agar bisa sedikit meringankan beban pikiran ini, mari aku ceritakan satu persatu hal-hal itu.
***
Hal yang pertama adalah soal pernikahan. Jadi sewaktu di perjalanan panjang dari Jogja ke Jakarta kemarin, seorang teman sempat menanyakan sesuatu hal kepadaku, yang kurang lebih kalimatnya seperti ini. "Gimana ya kalau ternyata orang yang kita suka itu nikah sama orang lain? Atau, gimana ya rasanya kalau ternyata ada orang yang suka sama kita, yang kitanya juga suka sama dia, tapi kita udah keburu nikah sama orang lain karena orang itu nggak cepet-cepet ngedatengin kita? Atau malah dianya jadi nikah sama orang lain karena menganggap kalau kita itu nggak suka sama dia?" Yang setelahnya menambah pertanyaan lain, seperti, "Gimana ya kalau ternyata kita itu sebenarnya saling suka sama seseorang, tapi kita juga saling nggak tahu, saling minder, dan akhirnya malah masing-masing give up terus malah jadi saling berusaha melupakan satu sama lain?"
Yang juga akhir-akhir ini kusimpulkan bahwa mungkin jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan itu adalah: berarti kita tidak berjodoh. Huhu.
***
Hal yang kedua adalah tentang bersikap ramah dan berbuat baik kepada orang lain. Kalau hal yang ini sempat beberapa kali aku alamin sendiri. Jadi selama beberapa tahun belakangan ini, aku sempat memiliki beberapa teman laki-laki yang cukup dekat. Bukan dekat dalam hal yang cinta-cintaan, tapi lebih ke kami itu dekat karena entah mengapa mereka kalau ada masalah itu ceritanya ke aku, ditambah karena kami juga sering main bareng dengan teman-teman yang lain. Dan kalau boleh jujur juga, mereka-mereka ini termasuk orang-orang yang terkenal dan banyak fans-nya, alias banyak yang mengagumi dan suka dengan mereka dari dekat maupun jauh.
Singkat cerita, karena aku dekat dan sering bareng sama mereka, aku jadi tahu beberapa perempuan yang juga dekat dengan mereka, yang sebagian diantaranya pun merupakan temanku sendiri. Dan di sinilah yang menjadi permasalahan buatku. Entah mengapa, kalau mendengar cerita dari teman-temanku ini, perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka itu kalau diajak ngobrol dan saling berkirim pesan itu katanya asik-asik dan nyambung-nyambung. Cara berbalas pesannya pun penuh tawa dan humor. Tapi, ketika aku yang mencoba ikut-ikutan berkomentar atau misalkan menyahuti storygram yang mereka upload, respon yang mereka berikan justru terkesan cuek dan jutek. Malah terkadang seperti tidak bersahabat sama sekali. Padahal kalau dibilang kenal dan dekat, ya kami itu sudah kenal, dan cukup dekat. Kalau bertemu pun biasa saja. Tapi entah kenapa respon yang diberikan lewat private message itu berbeda. Terkadang dijawab dengan jutek, terkadang seperti ingin buru-buru diakhiri, sampai terkadang juga seperti sedikit memusuhi. Padahal yang aku lakukan tidak jauh berbeda dengan teman-temanku itu.
Dan kejadian ini membawaku ke pemikiran-pemikiran seperti, apa ada yang salah dengan sikap aku? Atau aku terkesan sok kenal, sok asik, dan sok-sok lainnya? Tapi kan kalau karena itu, justru mereka-mereka itu lebih tidak kenal dan tidak dekat dengan teman-teman laki-lakiku ini. Dan yang pada akhirnya mengantarkanku pada pemikiran yang konotasinya sedikit buruk, seperti mungkin mereka baik karena mereka suka dengan teman-temanku itu. Tapi di situ aku juga jadi berpikir kembali, apa berbuat baik atau ramah kepada orang lain itu harus dibatasi? Maksudnya, hanya untuk orang-orang yang memang memberi manfaat dan bersinggungan langsung saja dengan kita? Atau terbatas hanya untuk orang-orang yang kita suka saja? Soalnya kalau teman-temanku itu meminta tolong untuk hal-hal yang sepele sampai sedikit memberatkan, mereka-mereka itu semangat sekali untuk membantunya. Sampai heran aku dibuatnya.
Entahlah. Aku jadi bingung sendiri untuk menceritakannya. Tapi yang pasti, untuk hal-hal yang begini aku itu sudah sangat sering mengalaminya. Dan berkali-kali mengadukannya juga ke teman-temanku itu, tapi selalu dibilang kalau itu hanya perasaanku saja, atau jawaban-jawaban lainnya yang membuatku memutuskan untuk tidak memedulikannya, meskipun jelas rasanya sedikit menyakitkan. Hiks.
***
Hal yang ketiga adalah tentang relationship dan masa depan. Jadi beberapa hari belakangan ini, karena suasana kantor lagi lumayan sepi, di sela-sela kesibukan itu aku sering diajak ngobrol oleh salah satu temanku. Obrolannya juga cukup berat, tentang psikologi dan buku-buku luar yang membahas tentang ini. Karena kebetulan aku juga tertarik dengan dunia psikologi, maka aku pun benar-benar mendengarkan setiap apa yang dibicarakan oleh temanku ini, berharap mendapatkan beberapa ilmu baru yang tertuang dalam buku yang harga-harganya cukup mahal itu.
Singkat cerita, tiba-tiba temanku bilang kalau di sebuah buku psikologi luar, dituliskan bahwa kita harus 'mengenal' 10 orang yang berbeda terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah dengan seseorang. Tentu saja temanku ini juga bilang, kalau berdasarkan apa yang kita yakini, jelas ini sangat bertentangan. Dan pembicaraan ini juga membuatku ingat dengan nasihat yang diberikan oleh temanku saat aku sedang galau-galaunya, yang intinya itu dia bilang kalau tidak perlu mencari orang yang sempurna. Dan yang terpenting, juga tidak perlu mencari-cari yang jauh kalau memang ada yang dekat dengan kita. Kedua pendapat tadi berkebalikan, bukan? Lalu, siapa yang salah? Dan mana yang benar?
Tapi sore tadi aku jadi mengambil kesimpulan sendiri. Kalau dari kedua pendapat itu, tidak ada yang benar maupun salah. Itu tergantung dari masing-masing orangnya, bukan? Aku agak kesulitan untuk menjelaskan maksudnya sih, tapi intinya itu benar kalau sebelum memilih dan memutuskan dengan siapa kita akan menikah misalnya, terkadang kita harus mengenal sifat-sifat orang yang berbeda-beda terlebih dahulu untuk menilai mana yang pantas untuk kita. Karena misalkan kita sudah yakin dengan A, dengan kondisi yang memang setiap hari kita bertemunya dengan si A terus, lalu pas keluar dari zona nyaman itu ternyata kita ketemu si B yang rupanya kalau dirasa-rasa jauh lebih baik daripada si A, malah jadi masalah sendiri, kan? Bisa-bisa kita menyesal dengan keputusan itu. Tapi itu juga berlaku untuk pendapat yang mengatakan kalau tidak perlu mencari yang sempurna dan tidak perlu jauh-jauh. Karena kalau kita terlalu sibuk mencari yang sempurna, maka kita akan kehilangan yang terbaik. Lagipula, untuk apa cari yang jauh-jauh kalau yang dekat saja sudah cukup? Intinya, itu semua tergantung diri kita masing-masing. Sejauh mana dan sebatas apa kriteria yang kita butuhkan untuk bisa merasa cukup. Mungkin, hehe.
***
Hal yang keempat adalah tentang perpisahan. Jadi beberapa minggu lalu aku dapat kabar kalau Rinaldy (temanku, biasanya aku memanggil dia dengan sebutan Keju), bulan ini akan resign dari kantornya dan memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Bali untuk menemani ayahnya. Selain itu, di minggu ini juga, aku dapat kabar kalau Yono (rekan kerjaku di kantor, yang juga merupakan temanku dari smk sampai kuliah), juga mau resign. Jumat besok adalah hari terakhir dia masuk ke kantor.
Kabar itu menunjukkan bahwa dari 8 orang member Laboratorium Multimedia (MM) angkatanku yang bekerja di Jakarta, tiga diantaranya akan resign (soalnya aku juga insya Allah akan resign bulan ini). Dan yang berarti, kami akan berpisah. Sebenarnya hal ini sih yang lebih banyak bikin kepikiran. Soalnya mereka-mereka itu benar-benar sudah seperti keluarga sendiri, yang rasanya saling tolong-menolong itu sudah menjadi kebiasaan kami. Dan berpisah dengan mereka, membuatku sedih... Makanya jadi kepikiran, hiks.
***
Melanjut dari hal yang keempat, sebenarnya ini cuma tambahan saja sih. Jadi di sini aku pengen cerita sedikit soal Keju. Mulai dari pertama kenal hingga sekarang sudah mau pisah begini.
Jadi awal aku kenal dengan Keju itu sebenarnya sewaktu kami sama-sama menjadi asisten laboratorium (aslab) MM dulu. Keju yang nggak banyak bicara dan luar biasa cuek itu, waktu itu diamanahkan untuk menjadi kordas lab, dan aku yang jadi sekertarisnya. Tapi waktu itu kami juga belum dekat-dekat banget, juga belum banyak interaksinya karena kalau ada apa-apa yang mengharuskan aku dan Keju untuk saling berinteraksi, biasanya aku akan meminta tolong ke bendaharanya, saking takutnya aku sama Keju, hehe.
Singkat cerita, ditengah-tengah masa jabatan itu, tiba-tiba salah seorang temanku menyeletuk dan mengajak orang-orang yang lagi makan di sofa depan lab untuk jalan-jalan ke daerah-daerah yang sejuk-sejuk, alias kayak sejenis pegunungan, pantai, dan lain sebagainya begitu. Dan karena kebetulan Keju itu orangnya sangat menyukai fotografi, maka pembicaraan yang awalnya kayak bercanda-bercanda dan nggak ada serius-seriusnya itu malah jadi kenyataan. Ya, akhirnya di akhir pekan di minggu itu juga, kami pun beneran jadi jalan-jalan berdelapan, menggunakan mobil milik salah seorang temanku. Keju itu emang orangnya begitu sih, kalau bilang iya pasti bakal iya. Dan hal ini juga keterusan, alias setelah-setelahnya kami jadi terbiasa untuk jalan-jalan berdelapan, sampai bikin grup segala, dan benar-benar kayak yang setiap minggu kami pasti jalan-jalan berdelapan. Kalau ada yang ulang tahun dan traktiran juga pasti ngajaknya cuma yang berdelapan itu. Dan yang pastinya, Keju yang jadi fotografer momen-momen kita itu.
Tapi meskipun sudah berkali-kali jalan-jalan begitu, hal itu tidak juga membuatku dekat dengan Keju. Kami masih canggung, dan kalau jalan-jalan pun aku kayaknya nggak pernah ngobrol banyak-banyak sama Keju. Sampai akhirnya, seorang temanku yang lain mengajakku untuk mendaftar di kantornya, yang Alhamdulillahnya setelahnya aku diterima di situ dan jadi tinggal di Jakarta. Dan di sinilah cerita tentang kedekatanku dengan Keju itu mulai terjadi. Jadi kalau tidak salah waktu itu, hanya berbeda beberapa hari, Keju dan seorang temanku yang lain juga diterima kerja di Jakarta. Tentu saja aku jadi senang dong, karena berarti di Jakarta itu aku nggak kesepian dan banyak temannya. Dan waktu itu kalau tidak salah di minggu pertama kerja, kami langsung melakukan trip ke Bandung ramai-ramai pakai bus yang cheating, alias naik dan turun tidak pada tempatnya untuk mendapatkan harga yang lebih murah.
Ya. Berawal dari trip ke Bandung itu, lalu sewaktu aku minta ditemenin jalan-jalan di Jakarta karena sedang libur natal dan aku tidak kedapatan tiket pulang (dan teman-temanku itu mau nemenin, termasuk Keju), sampai trip ke pernikahannya Kak Riza, lambat laun aku jadi semakin dekat dengan Keju. Entah kenapa tiba-tiba saja jadi ada banyak hal yang sama antara aku dan Keju, dan kayak dunia itu begitu sempit bagi kami. Dari soal sewaktu Ummi sakit dan dijenguk oleh temannya yang ternyata merupakan pakdenya Keju, lalu ditambah dengan pakdenya Keju itu juga merupakan satu rombongan dengan Ummi dan Abi sewaktu haji kemarin, terus rumah pakdenya Keju itu yang juga ternyata jaraknya tidak jauh dari rumahku, dan hal-hal yang lainnya. Sampai soal handuk yang ternyata dari warna, bentuk, ukuran, dan merk yang sama dan tidak bisa dibedakan sewaktu lagi menjemur handuk-handuk itu di bagasi mobil saat ke Jogja kemarin.
Lalu Keju ini juga jadi sering bertanya soal kodingan ke aku karena di tempat kerja dia itu, dia ditempatkan sebagai seorang Frontend Developer, disaat selama ini aku tahunya dia itu lebih cocok jadi UI/UX Designer, yang membuat kami yang dulunya nggak pernah ngobrol, jadi sering ngobrol. Sampai soal sewaktu lagi nunggu kereta di stasiun pasar senen kemarin, pas aku lagi bertanya soal Turina (pacarnya Keju), yang tiba-tiba malah menjalar ke soal penyakit Ibunya. Bahkan Keju ceritanya kayak mengalir aja, padahal aku dan dia itu nggak pernah cerita-cerita atau ngobrol-ngobrol banyak. Sampai aku juga sempat ngelihat kalau mata Keju itu agak berkaca-kaca sewaktu cerita soal itu. Oh iya fyi, ibunya Keju ini baru saja meninggal sebulan yang lalu.
Dan jujur, sewaktu mulai kenal dan dekat dan Keju, sebenarnya aku itu agak sedikit tidak percaya dan kayak apa ya rasanya. Aku bahkan sampai bilang ke temanku kalau rasanya aneh gitu gara-gara mulai dekat dengan Keju. Dari yang dulunya cuek banget, sampai ternyata aku jadi sadar kalau Keju itu orangnya perhatian, baik, suka menolong, dan lain sebagainya, pokoknya yang baik-baik. Benar-benar sosok teman idaman. Bahkan temanku ini bilang kalau aku dan Keju itu kayak adik-kakak, kayak anak kembar, dan kayak-kayak yang lainnya.
Tapi ya begitu, sedihnya sewaktu sudah mulai dekat dengan Keju seperti ini, ternyata kami harus dipisahkan oleh ruang dan waktu. Eh, Purwokerto dan Bali zona waktunya berbeda kan, ya? Hehe. Ya, intinya sebulan berikutnya, aku nggak akan bisa ketemu Keju lagi, sesering beberapa bulan belakangan ini. Begitu juga dengan teman-teman yang lain. Sebulan berikutnya, kami bakal mulai menjalani kehidupannya masing-masing. Kalau kata temanku, kami sudah akan berbeda eranya. Hiks, sedih ya... Dan menulis cerita tentang Keju kayak gini juga bukan dengan maksud apa-apa. Cuma karena aku respect dan senang aja karena sudah kenal dengan orang kayak Keju. Semoga keputusanmu untuk menemani ayahmu di Bali membawa keberkahan dan pahala tersendiri buat kamu ya! Aamiin, hiks..
***
Sebenarnya masih ada banyak keresahan-keresahan hati yang lainnya. Tapi aku udah keburu ngantuk. Jadi mungkin dilanjut besok saja ya, di part 2-nya...