Kalau tidak salah, waktu itu hari pertama meja kerja saya dipindah ke pojokan dekat pendingin ruangan.
Ini (mungkin) posisi terakhir setelah berulang kali meja saya ini bolak-balik berpindah tempat. Dari pojokan dekat pintu smoking area, lalu di tengah-tengah ruangan, sampai akhirnya di sini―di pojokan dekat jendela luar. Tapi saya bukan mau membahas soal posisi meja kerja saya di sini.
***
Setelah beberapa kali ada pergantian posisi dan pergantian teman kerja, seorang teman memindahkan layar monitor yang biasanya ada di atas mejanya ke atas meja saya. Katanya, biar saya saja yang pakai monitor ini, dia mau pakai monitor yang baru. Ya walaupun sebenarnya saya tidak begitu butuh monitor, tetapi saya iyakan saja, sekalian biar apa yang saya kerjakan di atas meja saya ini tidak begitu kelihatan sama orang lain (lah?). Dan sewaktu monitor itu dipindahkan, sebuah sticky notes yang tertempel di bagian bawah layar monitor itu menjadi perhatian saya. Gambarnya ada di sebelah.
Awalnya saya tidak tahu itu punya siapa. Tapi melihat catatan yang tertulis di situ, entah kenapa tangan dan pikiran saya tergerak untuk menuliskannya kembali, yang setelahnya keduanya saya gabungkan dan saya tempelkan di monitor bagian atas. Iya, jadi tulisan yang punya saya itu sengaja saya taruh di atas tulisan yang sebelumnya memang sudah tertempel. Dan salah satu alasan kenapa saya menuliskannya pun sebenarnya karena kedisiplinan bagi saya itu penting, dan saya ini paling sensitif soal disiplin. Makanya melihat tulisan yang begini, rasanya saya senang aja gitu dan sebagai pengingat juga untuk diri saya sendiri.
Dan tentu saja saya menulis ini bukan dengan maksud dan tujuan apa-apa, semata-mata cuma karena iseng dan suka saja dengan kalimatnya. Namun yang tak saya duga, beberapa hari setelahnya justru muncul tulisan dengan topik yang serupa, tetapi tanpa identitas dari si penulis. Tulisan itu juga agaknya terbaca seperti berlawanan dengan apa yang saya tulis sebelumnya, seperti gambar yang ada di sebelah kanan ini.
Awalnya saya bertanya ke beberapa teman yang duduknya tidak jauh dari saya, tapi tidak ada satupun yang tahu dan mau mengaku. Dan karena bertanya ke sana kemari pun rupanya tidak membuahkan hasil, akhirnya tulisan itu pun saya sandingkan bersamaan dengan tulisan saya yang sebelumnya. Ditambah dengan keisengan saya untuk mempublikasikan kedua tulisan itu ke dalam instasory milik saya. Cukup banyak yang merespon, satu-dua orang bilang kalau catatan itu ada benarnya, satu-dua lain bilang kalau saya kayaknya punya musuh di kantor (yang ini apa banget deh wkwk), dan sisanya malah mengomentari dan memprotes saya karena monitor yang malahan dipakai untuk menempelkan catatan, bukan digunakan sebagaimana mestinya. Membaca komentar-komentar itu saya sih ketawa-ketawa saja, sampai seorang teman saya ikut berkomentar dan bilang kalau catatan yang saya tulis sebelumnya itu juga pernah ditulis oleh Kak Adzim. Lalu saya berpikir, oh ternyata itu tulisannya Kak Adzim toh. Fyi Kak Adzim ini adalah leader pertama saya, yang juga jadi orang yang bertanya banyak hal ke saya saat di Bandung dulu―ketika saya sedang melamar kerja di kantor ini. Lucu ya, kantor saya ini ada di Jakarta Selatan, tapi saya wawancaranya justru di salah satu restoran fastfood dekat kampus. Tetapi di sini juga saya bukan bermaksud untuk membahas Kak Adzimnya, sih.
Intinya setelah beberapa hari monitor saya ini adem-ayem saja tanpa ada tambahan catatan apapun lagi, tiba-tiba saja sewaktu saya masuk kantor, saya justru dibuat terkejut dengan kondisi monitor saya yang semakin ramai alias semakin banyak tempelannya. Berawal dari bertambah dua-tiga catatan, lalu tiba-tiba jadi ada yang menempelkan struk belanjaan segala, sampai akhirnya satu-dua orang bukannya menuliskan quote begitu malah jadi nulis pesan dan kesan untuk saya. Tapi melihat hal yang begitu saya jadi senang sih, karena tulisan mereka itu bermacam-macam dan lucu-lucu. Dan yang beginian tentu saja tak lepas dari keisengan saya untuk mempublikasikannya ke instastory milik saya. Apalagi kan, entah kenapa saya jadi ngerasa kayak banyak teman aja gitu, karena mereka dengan kesadaran sendiri malah menuliskan pesan-pesan untuk saya, meskipun beberapa diantaranya ditambahi dengan quotes yang membangun maupun jokes yang (sedikit) receh. Tapi sebagian besar catatan yang isinya jokes receh juga udah nggak ada di monitor ini sih, soalnya diambilin satu per satu sama teman-temanku dan ditempel di monitornya masing-masing. Katanya biar kalau lagi bete bisa ketawa.
Dan saya pun menyebut monitor di atas sebagai notes board. Tapi kebanyakan yang menulis di situ tuh sebenarnya sudah tidak bekerja lagi di kantor ini, makanya dua-tiga tulisan justru terbaca seperti pesan perpisahan. Malahan ada seorang teman kerja saya yang justru sengaja menulis catatan untuk saya sebagai pesan perpisahannya. Dan sewaktu saya mempublikasikan gambar yang serupa dengan gambar di atas, tiba-tiba salah seorang teman kuliah saya berkomentar dan bilang kalau dia juga mau ikutan nulis pesan untuk saya. Yang akhirnya ternyata beneran dia mengirimi saya sebuah gambar seperti di bawah.
Sebenarnya sewaktu teman saya mengirimkan itu, saya ada rasa sedikit sebel-sebelnya gitu sih. Soalnya hashtag-nya ituloh, entah mengapa terbaca cukup menyebalkan. Tetapi karena teman saya ini sudah menuliskannya khusus untuk saya, ditambah ternyata sampai sekarang pun catatan itu masih tertempel di tembok kamar miliknya, jadinya saya pun menuliskannya kembali untuk ditempelkan di notes board milik saya itu. Dan sewaktu saya mempublikasikan tulisan miliknya itu ke instastory milik saya (lagi, kebanyakan publikasi ya, Nan), dia bilang kalau tanpa disensor pun sebenarnya orang-orang tahu siapa yang saya maksud di story itu. Dikomentari begitu saya sih ketawa-ketawa saja, dan bilang kalau biarin saja lah kalau ternyata banyak orang yang tahu, toh maksudnya saya cuma mau mempublikasikan isi tulisannya, bukan dianya. Dan dia cuma mengirimi saya emoticon sebal karena jawaban saya yang seperti itu.
Dan nulis ini sebenarnya juga karena saya sedang rindu dengan teman-teman yang sudah menorehkan tulisannya di atas kertas yang saya tempel di monitor itu, sih. Soalnya semua yang pernah menulis di situ tuh sebenarnya sudah tidak ada lagi yang bekerja di sini, jadi sudah tidak pernah ketemu lagi. Eh masih ada ding dua temanku yang ada di sini, tetapi minggu ini juga merupakan minggu terakhir untuk mereka berdua di sini. Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi. Toh tidak mungkin ada teman kerja yang menjadi teman kerja untuk selamanya, kan? Dan setiap orang memiliki kesempatan dan jalannya masing-masing.
Pun nulis ini juga sekaligus untuk pengingat, karena barangkali saya mulai lupa dengan catatan yang saya tempel sendiri.
Awalnya saya bertanya ke beberapa teman yang duduknya tidak jauh dari saya, tapi tidak ada satupun yang tahu dan mau mengaku. Dan karena bertanya ke sana kemari pun rupanya tidak membuahkan hasil, akhirnya tulisan itu pun saya sandingkan bersamaan dengan tulisan saya yang sebelumnya. Ditambah dengan keisengan saya untuk mempublikasikan kedua tulisan itu ke dalam instasory milik saya. Cukup banyak yang merespon, satu-dua orang bilang kalau catatan itu ada benarnya, satu-dua lain bilang kalau saya kayaknya punya musuh di kantor (yang ini apa banget deh wkwk), dan sisanya malah mengomentari dan memprotes saya karena monitor yang malahan dipakai untuk menempelkan catatan, bukan digunakan sebagaimana mestinya. Membaca komentar-komentar itu saya sih ketawa-ketawa saja, sampai seorang teman saya ikut berkomentar dan bilang kalau catatan yang saya tulis sebelumnya itu juga pernah ditulis oleh Kak Adzim. Lalu saya berpikir, oh ternyata itu tulisannya Kak Adzim toh. Fyi Kak Adzim ini adalah leader pertama saya, yang juga jadi orang yang bertanya banyak hal ke saya saat di Bandung dulu―ketika saya sedang melamar kerja di kantor ini. Lucu ya, kantor saya ini ada di Jakarta Selatan, tapi saya wawancaranya justru di salah satu restoran fastfood dekat kampus. Tetapi di sini juga saya bukan bermaksud untuk membahas Kak Adzimnya, sih.
Intinya setelah beberapa hari monitor saya ini adem-ayem saja tanpa ada tambahan catatan apapun lagi, tiba-tiba saja sewaktu saya masuk kantor, saya justru dibuat terkejut dengan kondisi monitor saya yang semakin ramai alias semakin banyak tempelannya. Berawal dari bertambah dua-tiga catatan, lalu tiba-tiba jadi ada yang menempelkan struk belanjaan segala, sampai akhirnya satu-dua orang bukannya menuliskan quote begitu malah jadi nulis pesan dan kesan untuk saya. Tapi melihat hal yang begitu saya jadi senang sih, karena tulisan mereka itu bermacam-macam dan lucu-lucu. Dan yang beginian tentu saja tak lepas dari keisengan saya untuk mempublikasikannya ke instastory milik saya. Apalagi kan, entah kenapa saya jadi ngerasa kayak banyak teman aja gitu, karena mereka dengan kesadaran sendiri malah menuliskan pesan-pesan untuk saya, meskipun beberapa diantaranya ditambahi dengan quotes yang membangun maupun jokes yang (sedikit) receh. Tapi sebagian besar catatan yang isinya jokes receh juga udah nggak ada di monitor ini sih, soalnya diambilin satu per satu sama teman-temanku dan ditempel di monitornya masing-masing. Katanya biar kalau lagi bete bisa ketawa.
Dan saya pun menyebut monitor di atas sebagai notes board. Tapi kebanyakan yang menulis di situ tuh sebenarnya sudah tidak bekerja lagi di kantor ini, makanya dua-tiga tulisan justru terbaca seperti pesan perpisahan. Malahan ada seorang teman kerja saya yang justru sengaja menulis catatan untuk saya sebagai pesan perpisahannya. Dan sewaktu saya mempublikasikan gambar yang serupa dengan gambar di atas, tiba-tiba salah seorang teman kuliah saya berkomentar dan bilang kalau dia juga mau ikutan nulis pesan untuk saya. Yang akhirnya ternyata beneran dia mengirimi saya sebuah gambar seperti di bawah.
Sebenarnya sewaktu teman saya mengirimkan itu, saya ada rasa sedikit sebel-sebelnya gitu sih. Soalnya hashtag-nya ituloh, entah mengapa terbaca cukup menyebalkan. Tetapi karena teman saya ini sudah menuliskannya khusus untuk saya, ditambah ternyata sampai sekarang pun catatan itu masih tertempel di tembok kamar miliknya, jadinya saya pun menuliskannya kembali untuk ditempelkan di notes board milik saya itu. Dan sewaktu saya mempublikasikan tulisan miliknya itu ke instastory milik saya (lagi, kebanyakan publikasi ya, Nan), dia bilang kalau tanpa disensor pun sebenarnya orang-orang tahu siapa yang saya maksud di story itu. Dikomentari begitu saya sih ketawa-ketawa saja, dan bilang kalau biarin saja lah kalau ternyata banyak orang yang tahu, toh maksudnya saya cuma mau mempublikasikan isi tulisannya, bukan dianya. Dan dia cuma mengirimi saya emoticon sebal karena jawaban saya yang seperti itu.
Dan nulis ini sebenarnya juga karena saya sedang rindu dengan teman-teman yang sudah menorehkan tulisannya di atas kertas yang saya tempel di monitor itu, sih. Soalnya semua yang pernah menulis di situ tuh sebenarnya sudah tidak ada lagi yang bekerja di sini, jadi sudah tidak pernah ketemu lagi. Eh masih ada ding dua temanku yang ada di sini, tetapi minggu ini juga merupakan minggu terakhir untuk mereka berdua di sini. Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi. Toh tidak mungkin ada teman kerja yang menjadi teman kerja untuk selamanya, kan? Dan setiap orang memiliki kesempatan dan jalannya masing-masing.
Pun nulis ini juga sekaligus untuk pengingat, karena barangkali saya mulai lupa dengan catatan yang saya tempel sendiri.
Juni 2018, sengaja saya publikasikan dengan terlambat
dan tulisan serupa pernah saya publikasikan di sini
dan tulisan serupa pernah saya publikasikan di sini